Sejumlah pemilik hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat, belakangan dikejutkan oleh kiriman surat penagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dalam surat tersebut, hotel diminta membayar royalti atas dugaan pemanfaatan karya musik di lingkungan usaha mereka. Fenomena ini mulai terjadi setelah mencuatnya perdebatan mengenai royalti musik di sebuah gerai kuliner populer di Bali yang sempat menjadi sorotan publik.
Menurut Asosiasi Hotel Mataram (AHM), sebagian besar pengusaha baru mengetahui kewajiban ini saat menerima tagihan. Minimnya penjelasan sebelumnya membuat banyak pihak tidak siap menghadapi kewajiban pembayaran tersebut.
Televisi Jadi Alasan Penarikan Iuran
LMKN berpegang pada aturan bahwa fasilitas hiburan yang tersedia di area komersial, termasuk kamar hotel, berpotensi memutar karya musik. Televisi yang ada di tiap kamar dianggap memenuhi unsur tersebut, meskipun pihak hotel tidak sengaja memutarkan lagu. Argumen ini memicu perbedaan pandangan: pengusaha menilai kehadiran TV tidak otomatis berarti memutar musik untuk tamu, sedangkan LMKN memandang potensi itu sudah cukup untuk dikenakan biaya royalti.
Skema Tarif Mengacu pada Kapasitas Penginapan
Berbeda dengan restoran yang tarifnya dihitung per kursi, hotel dikenakan tarif berdasarkan jumlah kamar. Penginapan kecil dengan di bawah 50 kamar masuk kategori tarif awal, sedangkan hotel yang memiliki kapasitas lebih besar masuk kategori tarif lanjutan dengan nilai pembayaran lebih tinggi. Skema ini menimbulkan kekhawatiran bagi hotel menengah yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, karena tarif meningkat seiring kapasitas, bukan berdasarkan frekuensi pemanfaatan musik.
Kritik terhadap Cara Penagihan
Sejumlah anggota AHM mengaku tidak nyaman dengan pendekatan penagihan. Beberapa merasa cara penyampaian surat terkesan mendesak, bahkan ada yang langsung diminta menentukan jadwal pembayaran tanpa proses diskusi. Bagi pelaku usaha, situasi ini menambah tekanan di tengah kondisi pasar yang belum stabil.
Beban Operasional Bertambah
Hotel di Mataram saat ini masih menghadapi berbagai kewajiban biaya, mulai dari pajak daerah, pajak pusat, hingga biaya operasional rutin. Tambahan royalti musik dianggap menjadi pengeluaran baru yang mempengaruhi arus kas, terutama pada periode low season. Pengusaha menilai perlindungan hak cipta memang penting, namun skema pembiayaan harus mempertimbangkan kemampuan masing-masing usaha.
Seruan untuk Dialog Terbuka
AHM mendorong adanya pertemuan langsung antara pelaku usaha dan LMKN untuk membicarakan kriteria yang jelas mengenai “pemanfaatan musik” di sektor perhotelan. Mereka juga mengusulkan tarif yang disesuaikan dengan tingkat penggunaan fasilitas hiburan, bukan semata jumlah kamar. Dengan dialog terbuka, diharapkan tercapai kesepakatan yang tidak merugikan pemilik usaha maupun pencipta karya musik.
SEO Title: Tagihan Royalti Musik dari LMKN Bikin Hotel di Mataram Resah
Meta Description: Hotel di Mataram terkejut menerima tagihan royalti musik berbasis jumlah kamar. Pengusaha minta LMKN buka dialog dan menyesuaikan tarif dengan tingkat pemanfaatan.
Key Phrase: royalti musik hotel