ratughibah – Jakarta, Agustus 2025 — Langkah kontroversial dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir jutaan rekening warga negara tanpa proses hukum resmi memicu gelombang protes di berbagai wilayah. Tindakan sepihak ini dinilai merusak prinsip dasar keadilan dan menempatkan warga dalam posisi rentan secara hukum dan ekonomi.
Pemblokiran ini diklaim sebagai bagian dari upaya memberantas aktivitas judi online dan pencucian uang. Namun fakta di lapangan menunjukkan, banyak rekening milik pensiunan, pelaku usaha kecil, bahkan rekening warisan keluarga ikut dibekukan tanpa pemberitahuan maupun kesempatan untuk melakukan klarifikasi.
Tanpa Putusan Pengadilan, Tanpa Prosedur yang Sah
PPATK, menurut aturan yang berlaku, hanyalah lembaga analisis dan pelaporan transaksi keuangan. Kewenangan eksekutorial, seperti membekukan atau menyita rekening, seharusnya berada di tangan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, atau lembaga peradilan.
Pemblokiran rekening secara sepihak tanpa keputusan pengadilan menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap asas keadilan dan prosedur hukum. Warga tidak diberi ruang untuk membela diri atau menyampaikan sanggahan secara formal, yang berarti hak mereka sebagai subjek hukum tidak dihormati.
Pelanggaran Wewenang dan Konstitusi
Tindakan ini diduga memenuhi unsur penyalahgunaan kekuasaan. Selain merugikan secara ekonomi, pemblokiran tersebut melanggar hak warga atas harta pribadi, hak untuk bekerja dan berusaha, serta hak untuk memperoleh proses hukum yang wajar dan tidak sepihak.
Dalam konstitusi, warga dijamin untuk diperlakukan secara setara dan transparan oleh sistem hukum. Ketika tindakan negara merampas akses ke rekening pribadi tanpa proses yang terbuka, maka prinsip-prinsip tersebut terancam hilang.
Kepala Negara Dianggap Gagal Mengawasi
Sebagai lembaga yang berada langsung di bawah Presiden, PPATK seharusnya diawasi secara ketat. Ketidaktahuan atau keterlambatan Presiden dalam merespons tindakan sepihak ini dipandang sebagai kelalaian serius. Jika pemerintah pusat tidak mengetahui atau tidak mengendalikan tindakan sebesar ini, maka ada cacat dalam sistem pengawasan birokrasi.
Ketika pemblokiran sudah mencapai puluhan juta rekening tanpa evaluasi dari otoritas tertinggi negara, hal itu menandakan lemahnya kepemimpinan dalam menjaga integritas hukum dan perlindungan hak warga.
Gelombang Tuntutan dari Publik
Di tengah gejolak ini, masyarakat sipil menyuarakan tuntutan tegas:
- Pemeriksaan hukum terhadap Kepala PPATK atas dugaan penyalahgunaan jabatan.
- Audit menyeluruh terhadap proses dan dasar pemblokiran, termasuk hubungan antara PPATK dan sektor perbankan.
- Pemulihan akses seluruh rekening yang tidak terbukti terlibat tindak pidana, serta kompensasi terhadap kerugian yang dialami oleh para pemilik rekening.
Kemarahan yang Tak Lagi Bisa Ditahan
Pemblokiran massal ini telah menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian di tengah masyarakat. Rakyat merasa tidak lagi aman secara ekonomi jika akses terhadap uang sendiri bisa dirampas sewaktu-waktu, tanpa proses hukum yang terbuka dan adil.
Beberapa warga melampiaskan kekecewaannya melalui media sosial:
“Tanah dua tahun dibiarkan, negara ambil. Rekening tiga bulan tak dipakai, langsung diblokir. Tapi rakyat lima tahun menganggur, negara tutup mata.”
Kritik ini mencerminkan keresahan mendalam bahwa sistem hukum tidak lagi melindungi rakyat kecil, melainkan menjadi alat represi yang berjalan di luar jalur.