ratughibah – Ketua Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Bivitri Susanti, mengungkapkan pendapatnya mengenai langkah yang diambil oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
yang tampak menghindari penghukuman politik terhadap mantan presiden. Rencana MPR untuk menghapus nama Presiden Soeharto dari Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang mengatur tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menjadi sorotan dalam diskusi ini.
Pentingnya Pertanggungjawaban Politik
Bivitri menekankan bahwa dalam konteks demokrasi, penting untuk menghukum presiden yang melakukan kesalahan, yang dianggap wajar dan perlu dilakukan. Ia menyatakan, “Kami tidak menyimpan dendam terhadap Soeharto. Dalam aspek kemanusiaan, memang sudah ada pengampunan, tetapi dalam ranah hukum tata negara, pertanggungjawaban politik harus tetap dijunjung tinggi.” Pandangan ini menunjukkan bahwa meskipun pengampunan memiliki tempatnya dalam hubungan antarmanusia, aspek hukum dan tanggung jawab politik tetap harus ditegakkan untuk memastikan integritas pemerintahan.
Bivitri menambahkan bahwa menghapus nama Soeharto dari dokumen resmi tidak hanya tindakan simbolis, melainkan juga berpotensi mengabaikan sejarah serta konsekuensi
dari tindakan pemimpin masa lalu. Dalam hukum tata negara, menghapus jejak tersebut dapat mengurangi pertanggungjawaban yang semestinya dihadapi oleh pemimpin yang telah melanggar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Risiko Normalisasi Pola Maaf-Memaafkan
Selanjutnya, Bivitri memperingatkan bahwa langkah untuk mencabut nama Soeharto dari Tap MPR dapat menciptakan pola maaf-memaafkan yang menjadi hal biasa dalam praktik politik. Ia mengkhawatirkan bahwa ini
bisa membahayakan demokrasi Indonesia, karena dapat mengurangi akuntabilitas politik dan menghilangkan rasa tanggung jawab di antara pemimpin. “Jika kesalahan besar dianggap sepele dan diabaikan hanya karena alasan kemanusiaan, kita akan menghadapi risiko mengulangi kesalahan yang sama di masa depan,” ujarnya.
Bivitri mengingatkan bahwa jika pola pikir ini terus berkembang, generasi mendatang mungkin akan kesulitan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Ketidakberanian untuk menghadapi kesalahan masa lalu dapat mengakibatkan pemimpin merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan mereka.
Kesimpulan: Menjaga Integritas Demokrasi
Dalam konteks ini, Bivitri Susanti menekankan pentingnya menjaga integritas demokrasi di Indonesia. Ia menyerukan perlunya diskusi yang lebih mendalam mengenai pertanggungjawaban politik dan sejarah negara. Mengabaikan tanggung jawab akan merugikan masyarakat dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.
Bivitri mendorong masyarakat untuk lebih aktif menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka dan memastikan bahwa sejarah tidak dilupakan. Memahami serta mengakui kesalahan masa lalu merupakan
bagian penting dari proses pembelajaran, yang dapat membantu menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan transparan di masa depan. Dalam hal ini, keseimbangan antara pengampunan dan pertanggungjawaban sangat penting agar demokrasi Indonesia dapat terus berkembang dengan baik dan berkelanjutan.