ratughibah – Di pantai timur Jepang, pagi biasanya dimulai dengan langkah nelayan dan suara burung laut. Tapi Rabu, 30 Juli 2025, suasana itu terganggu oleh sesuatu yang tak terlihat namun terasa—gelombang laut naik sedikit demi sedikit. Awalnya hanya 20 sentimeter, tapi air tidak berhenti di sana. Ia terus naik, pelan namun pasti.
Pelabuhan Mengawasi
Di Pelabuhan Kuji dan Hamanaka, petugas mulai menatap layar monitor dengan serius. Angka-angka di alat ukur menunjukkan ketinggian air bertambah menjadi 60 sentimeter. Kecil, memang. Tapi di Jepang, tak ada istilah “gelombang kecil” jika berkaitan dengan tsunami. Negara ini terlalu akrab dengan tragedi laut untuk meremehkan angka.
Lebih dari Sekadar Angka
20 sentimeter mungkin hanya setinggi mata kaki. Tapi jika datang sebagai tekanan dari dasar laut setelah gempa, ia membawa energi yang cukup untuk mendorong benda berat ke daratan. Otoritas Jepang sudah mempelajari pola-pola ini selama puluhan tahun. Dan mereka tahu, gelombang pertama bukan yang harus ditakuti. Gelombang selanjutnya bisa jauh lebih tinggi—dua meter, mungkin tiga.
Suara Sirene yang Membelah Diam
Di beberapa kota pesisir, sirene mulai meraung. Tak membangunkan mereka yang tidur, karena sebagian besar warga sudah terjaga sejak pagi. Tapi suara itu tetap membawa ketegangan yang familiar. Sekolah-sekolah yang dekat pantai diminta bersiap evakuasi. Para lansia di rumah perawatan dipindahkan ke lantai dua. Semua berlangsung teratur. Jepang tahu caranya bersiap.
Tidak Ada Panik, Tapi Ada Tegangan
Di televisi, NHK menayangkan peta peringatan secara real-time. Laporan datang dari berbagai titik pesisir. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada kepanikan. Tapi di wajah-wajah mereka yang diwawancarai, tampak ketegangan yang hanya muncul ketika seseorang tahu mereka sedang menghadapi alam, dan tidak bisa mengubah arah air laut.
Air yang Berubah Karakter
Laut pagi itu tampak tenang, tapi nelayan merasakannya berbeda. Mereka bilang, ada kekakuan aneh pada gelombang. Tidak seperti biasa. “Seperti ditahan sesuatu dari bawah,” ujar seorang nelayan tua di kawasan Aomori. Kata-kata yang tak ilmiah, tapi mengandung pengalaman puluhan tahun.
Aktivitas Laut Dihentikan
Semua kapal diminta tidak berlayar. Yang sudah terlanjur berangkat dipanggil kembali. Di dermaga, tali-tali ditarik lebih kuat. Warga menutup warung-warung di tepi pantai. Beberapa relawan mulai menyebarkan selebaran peringatan. Para siswa diminta tetap di sekolah sambil menunggu perkembangan.
Kesiapsiagaan yang Tidak Pernah Kendor
Satu hal yang membedakan Jepang dari banyak negara lain adalah kesiapannya. Di negeri ini, tsunami bukan berita mengejutkan. Ia adalah bagian dari hidup. Ada jalur evakuasi di tiap kota pantai, ada latihan rutin, dan ada kesadaran kolektif bahwa laut bisa berubah dalam sekejap. Ini bukan paranoia. Ini pelajaran sejarah.
Harapan Tetap Di Atas Permukaan
Hingga malam tiba, belum ada kerusakan besar. Tidak ada korban jiwa. Tapi pantai masih dijaga. Petugas tidak tidur. Mereka tahu, tsunami bukan drama satu babak. Bisa saja gelombang berikutnya datang saat semua mulai tenang.
Alam Tak Pernah Janji
Bagi Jepang, setiap gelombang adalah pengingat bahwa alam tidak pernah memberi janji. Ia hanya menunjukkan tanda. Sisanya, manusia yang harus belajar membaca. Pagi itu, laut memberi tanda. Dan seperti biasa, Jepang menjawab dengan kesigapan dan hormat.